Landasan Teoretis Penyelenggaraan Pendidikan CI/BI

Penggunaan istilah potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan. Potensi Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Pendapat ini mula-mula dikemukakan oleh United States Office of Education (Feldhusen, 1994) bahwa anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi oleh orang dengan kualifikasi profesional. Anak-anak yang telah mampu menunjukkan prestasinya dan atau berupa potensi kemampuan pada beberapa bidang seperti: (1) kemampuan inteligensi umum; (2) kemampuan akademik khusus (specific academic aptitude); (3) berpikir produktif atau kreatif; (4) kemampuan kepemimpinan; (5) kemampuan di bidang seni; (6) kemampuan psikomotorik.

Dalam mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa  menggunakan pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah peserta didik yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke atas dengan pengukuran menggunakan skala Wechsler (Pada alat tes yang lain = rerata skor IQ ditambah dua standar deviasi), dimensi kreativitas tinggi (ditetapkan skor CQ dalam nilai baku tinggi atau plus satu standar deviasi di atas rerata) dan pengikatan diri (task commitment) terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC dalam kategori nilai baku  baik, atau plus satu standar deviasi  di atas rerata).

Konsepsi Tiga Cincin dari Renzulli (1978, 2005) banyak digunakan dalam menyusun pendidikan untuk anak cerdas istimewa, dan merupakan teori yang mendasari pengembangan pendidikan anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (Gifted and Talented children). Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli menentukan giftedness sebagai saling keterkaitan antara tiga komponen yang penting yaitu:

1.    Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan/atau kemampuan khusus di atas rata-rata

2.    Kreativitas yang tinggi

3.    Komitmen terhadap tugas yang tinggi

Penggunaan model Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan Renzulli, jika dalam identifikasinya lebih berorientasi pada psikotes dan prestasi, masih belum menyentuh seluruh populasi anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (gifted and talented). Ada beberapa kelompok anak berbakat yang kemungkinan besar terlewatkan dengan model identifikasi semacam itu, seperti: anak-anak yang cerdas istimewa namun memiliki kesenjangan tinggi antara kemampuan dan kinerja atau prestasinya (underachiever). Selain itu juga ada anak-anak cerdas istimewa yang memiliki kesenjangan tinggi diantara domain kemampuannya berdasarkan tes-tes kecerdasan yang baku, prestasi maupun bakat dengan ketimpangan kemampuan kognisi dan kemampuan adaptif serta prestasi di lapangan.  Kategori-kategori ini masih belum memiliki tempat dalam konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan Renzulli tersebut (Adinugroho-Horstman, 2007).

Dalam upaya mengatasi kondisi di atas, muncullah konsep The Triadich dari Renzulli-Mönks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Model Renzulli-Mönks ini disebut sebagai model multifaktor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Dalam model multifaktornya Mönks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan oleh Renzulli itu tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari  sekolah, keluarga, dan lingkungan di mana si anak tinggal (Mönks dan Ypenburg, 1995). 

Dengan model multifaktor maka pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua dan lingkungan dalam menanggapi gejala-gejala kecerdasan istimewa (giftedness), toleran terhadap berbagai karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuh kembangnya yang menjadi penyulit baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikannya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlibatan pihak orang tua dalam pengasuhan di rumah agar berpartisipasi secara penuh dan simultan dengan layanan pendidikan terhadap anak  di sekolah. 

Model Triadich Renzulli-Mönks menuntut sistem pendidikan, keluarga, dan lingkungan untuk dapat memberikan dukungan yang baik dan mengupayakan agar anak didik dapat mencapai prestasi istimewanya, sehingga diharapkan tidak akan terjadi adanya kondisi berprestasi rendah (underachiever) pada seorang anak cerdas istimewa. Dengan model pendekatan teori ini juga, maka anak-anak yang mempunyai ciri-ciri berkecerdasan istimewa (dengan ciri-ciri tumbuh kembang, ciri-ciri personalitas, dan ciri-ciri intelektual) sekalipun underachiever masih dapat terdeteksi sebagai anak berkecerdasan istimewa yang memerlukan dukungan dari sekolah, keluarga dan lingkungan agar ia dapat mencapai prestasi yang istimewa sesuai potensinya.

Model pendekatan multifaktor lebih fleksibel dalam melakukan deteksi dan diagnosis anak cerdas istimewa, terutama dalam menghadapi anak-anak dengan kondisi tumbuh kembang yang mengalami disinkronitas yang besar dan penting, berkesulitan dan bergangguan belajar (learning difficulties dan learning disabilities), serta yang mengalami komorbiditas dengan gangguan lainnya (gangguan emosi dan perilaku yang patologis). Fleksibilitas dalam melakukan deteksi yang dimaksud adalah dimungkinkannya penggunaan daftar dan alat-alat ukur asesmen yang lebih beragam (Mönks dan Pflüger, 2005).

Heller (2004) mengembangkan model multifaktor yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari Triadic Interdependence model  Mönks serta  Multiple Intelligences dari Howard Gardner.  Menurut Heller konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama lain:  (1) faktor talenta (talent) yang relatif mandiri (relatif mandiri); (2) faktor kinerja (performance); (3) faktor kepribadian; dan (4) faktor lingkungan; Dua faktor terakhir menjadi perantara untuk terjadinya transisi dari talenta menjadi kinerja.

Faktor bakat (talent) sebagai potensi yang ada dalam individu dapat meramalkan aktualisasi kinerja (performance) dalam area yang spesifik. Bakat ini mencakup tujuh area yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu: kemampuan intelektual, kemampuan kreatif, kompetensi sosial, kecerdasan praktis, kemampuan artistik, musikalitas, dan keterampilan psikomotor. Sementara itu Faktor kinerja (performance) meliputi delapan area kinerja, yaitu: matematika, ilmu pengetahuan alam, teknologi, komputer, seni (musik, lukis), bahasa, olah raga, serta relasi sosial. 

Bakat (talent) dapat berkembang menjadi kinerja dengan dipengaruhi   oleh  dua faktor yaitu: (1) karakteristik kepribadian yang mencakup: cara mengatasi stres, motivasi berprestasi, strategi belajar dan strategi kerja, harapan-harapan akan pengendalian, harapan akan keberhasilan atau kegagalan, dan kehausan akan pengetahuan; serta (2) kondisi-kondisi lingkungan yang mencakup: iklim keluarga, jumlah saudara dan kedudukan dalam keluarga, tingkat pendidikan orang tua, stimulasi lingkungan rumah, tuntutan dan kinerja yang ada di rumah, lingkungan belajar, kualitas pembelajaran,  iklim kelas, dan peristiwa-peristiwa kritis.

Di dalam proses terwujudnya bakat menjadi kinerja, bakat juga dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan  kondisi lingkungan. Misalnya bakat yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana orangtua atau guru memperlakukannya. Di dalam proses terwujudnya kinerja, bakat juga dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana anak tersebut menjadi semakin ulet dan tekun atau bakat yang dimiliki juga akan berpengaruh terhadap sikap orangtua atau guru terhadap anak sehingga berpengaruh terhadap cara memperlakukan si anak.

Pada dasarnya, ciri-ciri yang dimiliki peserta didik cerdas dan/atau berbakat istimewa serupa dengan peserta pada umumnya, yaitu ada sisi positif dan sisi negatif. Sebagaimana anak pada umumnya, anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa mempunyai kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan, dan perwujudan diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, mereka akan menderita kecemasan dan keragu-raguan. Jika minat, tujuan, dan cara laku mereka yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya, tidak memperoleh pengakuan, maka mereka walaupun memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa akan mengalami kesulitan. Hal ini nyata dari daftar yang disusun oleh Seogoe (dikutip oleh Martinson, 1974) yang menunjukkan bahwa ciri-ciri tertentu dari peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu, misalnya :

1.    Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan (skeptis), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain ;

2.    Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal yang baru, bisa menyebabkan mereka tidak menyukai atau lekas bosan terhadap tugas-tugas rutin ;

3.    Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan, dapat menjurus ke keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya ;

4.    Kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjadi mudah tersinggung atau peka terhadap kritik ;

5.    Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi, dapat membuat kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung ;

6.    Dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minatnya ;

7.    Keinginan mereka untuk mandiri dalam untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta kebutuhannya akan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orang tua, sekolah, atau teman-temannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya ;

8.    Sikap acuh tak  acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya.

Selain itu, berdasarkan penelitian Herry (1993), mereka juga suka mengganggu teman-teman sekitarnya. Hal ini disebabkan karena mereka lebih cepat memahami materi pelajaran yang diterangkan guru di depan kelas dibandingkan teman-temannya. Dengan diterangkan sekali saja, mereka telah dapat menangkap maksudnya, sedangkan peserta didik yang lain masih perlu dijelaskan lagi; mereka banyak waktu terluang, yang kemudian apabila kurang diantisipasi oleh gurunya, akan digunakan untuk mengadakan aktivitas sekehendaknya (usil), misalnya mencubit atau melemparkan benda-benda kecil/kapur keteman-teman sekitarnya.

Akibat lebih lanjut, mereka dapat menjadi anak yang berprestasi di bawah potensinya (underachiever) atau bahkan malah mungkin menjadi anak yang bermasalah (mengalami kesulitan belajar). Hal ini tampak dari hasil penelitian Herry dkk.(1996) terhadap peserta didik SD di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat, yang menunjukkan bahwa 22% dari peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa beresiko tinggal kelas (nilai rata-rata rapornya kurang dari 6,00). Demikian pula hasil penelitian Herry, dkk., (1997) terhadap peserta didik SLTP di empat provinsi yang sama menunjukkan bahwa 20% dari peserta didik SLTP yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga beresiko tinggal kelas. Sementara itu, hasil penelitian Yaumil Achir (1990) di Jakarta terhadap peserta didik SMA yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa menunjukkan bahwa sekitar 38,7% dari sampel tergolong underachiever..

Keadaan di atas tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain. Beberapa penelitian di negara maju, seperti Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 15-50% dari peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tergolong underachiever (Marland, dikutip Utami Munandar, 1999). Di Inggris sekitar 25% (Pringle, dikutip Utami Munandar, 1999) Sementara itu hasil penelitian Balitbang Diknas (1998) menyimpulkan ada dua faktor yang menyebabkan peserta didik cerdas istimewa mengalami gejala prestasi kurang (underachiever), yaiatu: (1) lingkungan belajar yang kurang menantang mereka untuk mewujudkan potensinya secara optimal dan (2) model pembelajaran yang kurang kondusif.

Sumber: Pedoman Akselerasi, Dit PLB 2007.