Riana Helmi, SKed : Belajar Jadi Kegiatan Menyenangkan

Prestasi dara kelahiran Banda Aceh, 22 Maret 1991 ini terbilang luar biasa. Ia merupakan wisudawan termuda UGM. Ia menyandang gelar sarjana kedokteran dalam usia 18!

Saat wisuda beberapa waktu lalu, Anda adalah wisudawan termuda di UGM, Yogyakarta?
Betul. Saat wisuda 19 Mei, usia saya 18 tahun 2 bulan, sedangkan saat judisium, saya berusia 17 tahun 11 bulan. Saya menyelesaikan kuliah 3 tahun 8 bulan. IPK saya 3,67. Skripsi saya tentang kanker payudara.

Anda termasuk cepat menyelesaikan kuliah?
Sebenarnya, sih, tidak. Memang programnya seperti itu. Sebagian angkatan saya, memang menyelesaikan kuliah dalam waktu selama itu. Memang, sih, dalam angkatan saya, saya termasuk gelombang pertama yang diwisuda. Namun, memang selama sekolah, usia saya paling muda.
Umur 4 tahun saya sudah masuk SD, tanpa lewat TK. Pada waktu itu memang memungkinkan. Sebenarnya saat di SD, saya anak bawang. Pokoknya boleh ikut sekolah. Menurut cerita Ibu, Rofiah, saat itu saya nangis-nangis minta sekolah. Tapi, jarak TK dengan rumah kami di Karawang (Jabar), terhitung jauh. Ibu repot sekali kalau mesti mengantar saya sekolah, sementara bapak, Komisaris Polisi Helmi, saat itu sedang pendidikan di Sukabumi. Lalu, Ibu menitipkan saya di SD dekat rumah kami. Yang penting bisa sekolah.

Ternyata, saya bisa mengikuti pelajaran. Saat masuk sekolah, masih menurut Ibu, saya sudah lancar membaca. Belakangan saya lancar baca dan tulis. Saya pun bisa mengikuti pelajaran. Bahkan, saya dapat ranking 2. Karena memang bisa mengikuti pelajaran, jadilah saya terus sekolah. Saya juga enggak kesulitan cari sekolah ketika kelas 2 SD, Bapak pindah tugas ke Sukabumi. Bapak, sekarang menjadi dosen di Secapa Polri Sukabumi.

Bagaimana prestasi sekolah Anda?
Selama di SD, hanya kelas 1 saya ranking 2, selanjutnya sejak kelas 2 sampai 6, saya ranking 1 terus. Lulus SD, Bapak memasukkan saya ke program akselerasi di SMP 1 Sukabumi. Saat itu memang belum lama dikenalkan sistem akselerasi. Saya termasuk angkatan kedua program ini. Nah, SD saya juga mendapat informasi seperti ini lewat brosur.

Bapak pun memasukkan saya ke akselerasi. Rangkaian tes seperti tes akademi dan IQ, bisa saya ikuti dengan baik. Di SMP, yang lolos program akselerasi ada 24 orang, sedangkan SMA 26 anak. Kenaikan kelas akselerasi, kan, selama 8 bulan. Jadilah, SMP dan SMA masing-masing saya selesaikan dalam waktu 2 tahun. Saya juga selalu masuk ranking 3 besar.

Bagaimana, sih, cara Anda belajar?
Orangtua memang sangat care. Untuk pelajaran Matematika, misalnya, Ibu sudah mengajari saya pelajaran yang akan datang. Jadi, sebelum mendapat materi pelajaran dari guru, saya sudah diajari Ibu. Ibu memang rajin banget mengikuti pelajaran saya. Untuk pelajaran Bahasa Indonesia, biasanya Bapak yang mengajari saya.

Kalau ada kesulitan pelajaran, orangtua selalu membimbing saya. Namanya kelas akselerasi, kan, banyak bikin tugas. Berkat orangtua, semua pelajaran dapat saya kerjakan dengan baik. Enggak tahu kenapa, saya memang senang belajar. Selama itu pula, saya enggak pernah merasa terbebani. Semua saya lakukan dengan senang.

Waktu Anda banyak diisi kegiatan belajar, dong?
Memang iya. Kegiatan saya waktu itu, pulang sekolah istirahat sebentar, lalu belajar. Saya juga ikut les privat dan bimbingan belajar. Belajar kegiatan yang menyenangkan buat saya. Meski begitu, masih ada, kok, saat bermain. Biasanya sore hari, saya masih bisa bermain bersama teman-teman. Tentu saja bermain bersama dua adik saya.

Pelajaran apa yang paling Anda sukai?
Matematika. Sebaliknya, saya kurang suka pelajaran Ketakes (Kerajinan Tangan dan Kesenian.) Untuk kesenian masih mendingan. Di SMP itu, untuk kesenian, ada pelajaran tari. Saya masih bisa. Tapi, kalau sudah dapat tugas keterampilan, umpamanya bikin patung dari sabun, saya enggak suka. Buat saya ribet.

Bangku SMA menurut saya malah tidak lagi begitu berat. Buat saya, pelajaran SMA, kan, banyak mengulang pelajaran SD. Porsi belajar saya lebih sedikit daripada SMP. Saya pun lebih santai dan tidak terlalu rajin. Tapi, semasa SMA saya selalu ranking 1.

SMA, kan, masa remaja yang kabarnya lagi nakal-nakalnya. Pernah diledek teman karena Anda siswa paling kecil?

Enggak sih. Untuk siswa sekelas, mereka kan teman-teman sekelas yang ikut akselerasi waktu SMP. Kami sudah saling akrab. Teman kelas regular juga tidak pernah mengganggu saya meski usia saya termuda.

Apa kegiatan Anda di luar kelas?
Saya ikut KIR (Kelompok Ilmiah Remaja.) Saya senang ikut KIR Fisika.

Lantas apa yang mendorong Anda masuk Fakultas Kedokteran UGM?
Kedokteran, kan, jadi fakultas favorit. Cita-cita anak-anak juga banyak yang ingin jadi dokter. Nah, inilah yang mendorong saya ingin jadi dokter. Sebelumnya, saya konsultasi dengan Bapak. Tentu saja Bapak mendukung, meski harus sekolah di luar kota.

Saya lolos tes masuk. Saya mulai kuliah saat usia 14 tahun. Selama orientasi di Yogyakarta, saya ditemani Ibu mencari tempat kos dekat kampus sampai tukang cuci. Saya, kan, enggak punya kerabat di Yogyakarta. Kalau libur panjang, saya pulang ke Sukabumi. Terkadang, orangtua yang ke Yogyakarta. Saya enggak kesulitan, kok, meski tinggal mandiri di sini.

Ada kesulitan selama mengikuti kuliah?
Namanya kesulitan sudah pasti ada. Terutama di awal kuliah. Apalagi, Kedokteran, katanya termasuk sulit. Di Kedokteran, kan, materi kuliahnya terdiri dari 22 blog. Blog pertama belum begitu susah, masih tahap pengenalan. Memasuki blog 2 dan 3, barulah ada kesulitan. Susah karena merupakan dasar. Setelah itu, sudah lebih mudah. Cara mengatasi kesulitan ya belajar. Sering saya berdiskusi sama teman atau bertanya pada kakak angkatan.

Di kampus, kan, ada tutorial. Satu grup ada 10 mahasiswa. Kami membahas materi kuliah dan saling tukar informasi. Berkat belajar keras, semua materi kuliah bias saya kerjakan dengan baik. Saya tidak pernah mengulang mata kuliah.

Selama kuliah, apa kegiatan selain belajar?
Seperti mahasiswa lain, suka main internet. Saya tidak pernah di warnet, karena kampus sudah ada blog spot. Tinggal bawa laptop, saya bisa browsing cari bahan yang ada kaitannya dengan materi kuliah. Sesekali ke mal bersama teman sekadar beli kebutuhan sehari-hari.

Nah, setelah lulus bisa ceritakan kegiatan Anda?
Saya koas di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Kami dibimbing residen, dokter yang sedang mengambil spesialis. Terkadang ke rumah sakit daerah di Klaten dan Sleman. Pertama kali, saya masuk ke bagian THT. Lalu, kesehatan masyarakat, dan sekarang di Kebidanan dan Kandungan. Semua bidang nanti diikuti, kalau enggak salah ada 14, seperti anak, mata, penyakit dalam dan seterusnya.

Kerap Riana berdiskusi dengan perawat tentang tugas yang mesti dikerjakan (Foto: Henry Ismono/NOVA)

Bagaimana tanggapan pasien ditangani koas seperti Anda?
Di RS Sardjito ada VIP dan kelas 1-3. Untuk VIP, residen dan koas itu tidak boleh masuk. Kami hanya boleh masuk di kelas 1, 2, dan 3. Pasien di kelas ini sebenarnya tidak ada masalah. Kemarin, saya mendengar, keluarga pasien mengatakan, tidak mau ditangani koas. Teman-teman saya juga sering mendengar hal yang sama. Buat saya, sih, wajar saja. Mereka ingin langsung ditangani dokter.

Ya, selama koas, saya dapat pengalaman baru lagi. Saat inilah kami
berhubungan langsung dengan pasien. Dan tentu saja, saya saja juga bergaul dengan bidan dan perawat.

Apa rencana Anda ke depan?

Yang terdekat tentu saja menyelesaikan program koas. Tahap berikutnya ikut ujian kompetensi dokter. Ada juga keinginan ambil spesialis, tapi belum tahu mau ambil apa. Saya, kan, belum ikut semua tahapan koas. Mungkin setelah semua selesai, baru mantap ambil satu spesialis.

Oh ya apa hobi Anda?
Saya suka membaca. Di luar buku kedokteran, saya suka membaca buku-buku Psikologi, terutama tentang kepribadian. Dulu waktu SMP dan SMA, saya senang baca novel, tapi sekarang sudah tidak lagi.

Omong-omong, keluarga Anda yang juga sekolahnya cepat?
Adik bungsu saya, Rafidah Helmi sekarang sekolah akselerasi SMP, sedangkan adik satunya lagi, Rosalina Helmi, sekolah biasa

henry Ismono Copyright © Tabloid Nova